🌼 Kuliah 15 🌼
Kampung Datuk Keramat,
Kuala Lumpur
Ogos 1975 (Malam Kedua)
Diminta lagi rupanya, amnya…
memberi kuliah. Tetapi saya mengatakan pula kita memberi kuliah, mengulangi
lagi kajian ilmu pengetahuan kita, ertinya mengulangi lagi kajian ilmu
pengetahuan kita untuk dapat lebih difahami dan lebih mengerti, dan untuk seterusnya
tahu dan berani membawakannya, dengan tidak ragu-ragu dan tidak rasa bimbang
hendaknya, yang menjadi satu keyakinan.
Inilah yang benar, dan ini
peganganku. Dan aku akan maju terus dengannya, walau bagaimana sekali pun aku
tetap berada, dan apa sekali pun yang akan terjadi.
Kenapa saya berani mengatakan
begitu? Mengapa saya mahu mengatakan begitu? Ini berdasarkan pengalaman, yang
saya hampir meningkat dua puluh tahun dengan membanding, mencari, mengadu,
menentang, dan lain sebagainya, dan sebagainya.
Ertinya, kalau kita lihat, saya praktikan dengan
keadaan badan saya yang kurus kering ini, dan hanya berjalan
dengan ilmu pengetahuan ini, dan saya katakan membanding, mencari, mengadu dan segala
macamnya sebatang kara tanpa modal …
… modal hanya dia yang
ada padaku itu untuk dikemukakan, diperkenalkan, dipertandingkan kepada
orang-orang yang berilmu, orang-orang yang berkepandaian, dan diberikan dan
diamalkan kepada orang-orang yang memang dikehendakinya, untuk dapat pula
berserta kami mengamalkan ilmu pengetahuan kami ini.
Tetapi bukan di sini saja. Di mana-mana saya pergi, ke mana-mana
saya datangi anak-anak didikan saya yang melalui orang-orang yang
saya percaya dan sebagainya, ya… yang saya katakan tidak puas dan kurang puas diatas
tangkapan-tangkapan, pengertian atau bawaan-bawaan tentang bagaimana mengamalkan atau
bagaimana sebenarnya hakikat dari pengetahuan ini.
Jadi, macam malam ini, di perjumpaan kita,
entah beberapa kali sudah di tempat ini, di rumah Cikgu Ismail, ertinya saya
berikan itu dan itu juga. Kaji yang telah kita kaji, untuk supaya lebih dapat meresap,
lebih dapat dimengerti, lebih dapat menjadi pegangan, yang mana sebenarnya yang
akan menjadi pegangan kepada kita, yang akan jadi pimpinan dalam perjalanan
dalam pembawaan kita hari-hari.
Itu ilmu pengetahuan gerak macam dikatakan,
macam telah dapat dirasakan dan diperbuat, dibawakan, dilakukan oleh diri masing-masing.
Akan tetapi kita dapat memahami hendaknya, bergerak
dalam istilah kami, jalan terus, jalan terus, jalan terus, turutkan saja dan
sebagainya. Yang kami dapat merenungkan danmemikirkan, berjalan, bergerak.
“Yang mana bergerak? Yang mana itu
berjalan? Yang mana itu menurutkan? Dan sebagainya dan sebagainya.”
* * *
Ilmu ini kalau kita ambil pula
perbandingan kepada ilmu orang, ini ilmu ghaib; ilmu tidak nyata, ilmu latifah,
ilmu halus dan sangat halus, iaitu dengan memakai tenaga ghaib. Cara ilmiahnya
yang berasal dari yang ghaib, dan bersumber dari Yang Maha Ghaib iaitu Allah.
Banyak ilmu yang lain. Banyak
ilmu kepandaian; orang pandai membikin orang sakit, pandai melumpuhkan orang,
ilmu membikin orang nyanyi, jadi pontianak segala macam, hantu raya segala macam.
Itu bukan ilmu. Kepandaian.
Dan yang itu pun satu kepandaian, amalan yang mengandungi keinginan
hawa nafsu yang kerjanya perbuatan merosak dan
merosak manusia anak cucu nabi Adam.
Pada khususnya pengetahuan kita
ini, kalau dapat kita menghalusi, dapat kita memegang betul pada jalannya
segala macam, dengan menurutkan dia berjalan tadi, kita dapat melepaskan diri
kita dari kebendaan; ikatan-ikatan kebendaan material dan ikatan-ikatan hawa
nafsu.
Bagi yang mahu menyelidiki,
yang mahu menangkap dengan rasa halus antara pancaran yang memancar melalui
badan diri kita dengan barang yang nyata, maka dapatlah kita merasakan,
memperbezakan yang lahir dan yang batin tadi, yang dikatakan antara rohani kita
dan jasmani kita; yang nyata dan tidak nyata.
Dengan kita berpegang kepada
yang tidak nyata, yang terasa, dengan sendirinya kita turutkannya, maka
terlepaslah kita sudah dari ikatan-ikatan kebendaan. Dari itu banyak
orang-orang pandai mengatakan
‘Bebaskan diri dari
ikatan-ikatan kebendaan dan ikatan-ikatan duniawi dan ikatan-ikatan hawa nafsu
dan sebagainya.’
* * *
Baik juga saya kemukakan
sedikit asal usul pengetahuan kita ini. Ertinya bagi yang hadir sekarang yang
telah mengamalkan, yang telah menerima dari kami ilmu pengetahuan ini. Ertinya
telah mendapat buahnya saja untuk dirasakan, untuk difahamkan, untuk dibawakan,
untuk dirasakan lazat cinta rasanya dan lain sebagainya.
Tetapi bagi kami, saya dalam
hal ini, ertinya dari tidak ada, mencari… mencari… mencarinya sampai menjadi
ada.
Dari tidak ada, kalau garis
kasar sampai menjadi ada. Tetapi apa itu yang dicari?
Banyak orang lain mencari ilmu
bagaimana hendak menyakitkan orang. Dicarinya ubat penawar bagaimana untuk
sakit perut atau digigit lipan atau kala (jengking) dan segala macam.
Akan tetapi yang saya cari ini
yang tidak ada, sebab Ilmu Tuhan. Tuhan yang saya cari. Saya hendak
menemui-Nya. Oleh kerana apa maka datang cenderung fikiran saya hendak
mancari-Nya, hendak menemui-Nya?
Oleh kerana ada sesuatu hal
yang sangat berat rasanya yang telah saya alami, yang telah terjadi pada badan
diri saya. Kalau hukuman, tak terpikul saya rasanya. Tetapi saya sedar, bahawa
saya rasanya benar. Saya tidak salah. Kenapa yang derita yang saya alami sangat
berat, berat dan sangat berat? Sampai saya perhatikan kalau dosa, saya tahu si polan
itu lebih banyak dosanya dari saya, kenapa dia tidak
menderita? Kenapa dia tidak mendapat hukuman? Bahkan dia senang-senang!
Kebelakangan saya lihat dari
pengalaman-pengalaman hidup, memang di dunia ini aneh; orang yang lurus kurus,
orang yang jujur yang dapat hukuman dan dapat cubaan. Orang yang bengkok tidak,
bahkan bertambah gemuk dia. Tetapi saya mencari… mencari… mencari-Nya.
Tadi saya katakan mencari Dia; Tuhan tadi,
oleh kerana saya tidak mengadu kepada siapa saja kepada orang lain, kepada
polis segala macam juga, kerana tidak ada bukti apa yang saya alami.
Lain halanya Tuhan tempat saya mengadu.
Dari itu saya mencari-Nya… mencari-Nya… mencari-Nya. Itulah dengan kehendak-Nya
juga, dengan izin-Nya juga, dengan membaca buku-buku, al-Qu’ran dan sebagainya
yang dapat saya mengatakan setelah terjadi, hanya memang orang-orang yang dikehendaki-Nya
yang akan sampai kepada cahaya-Nya dan lain sebagainya.
Di dalam Surah an-Nur; orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Dan begitulah saya dalam bertahun-tahun berjalan mencari, mencari, tetapi dalam
perjalanan menuju kepada-Nya tadi, iaitu perasaan lain, ingatan lain, fikiran
lain timbul pada saya.
Kenapa bertambah dekat kepada-Nya tadi,
saya sudah bertambah tidak ada? Bertambah dekat, bertambah dekat, sehingga tidak
ada daya dan upaya saya lagi. Bahkan di Hadirat-Nya, saya telah tidak ada lagi!
Sehingga waktu saya sedar kembali, saya
fikir-fikirkan, saya menung-menungkan, maksud saya yang sangat besar tadi
hendak mengadu hal saya kepada-Nya, mencari-Nya hendak mengadu hal saya, tetapi
dengan perjalanan saya tadi hendak menuju kepada-Nya, bahkan sampai di
Hadirat-Nya, sangat malu rasanya pada diri saya sendiri. Kenapa?
Soal yang sangat besar saya katakan tadi,
terhadap-Nya di sisi-Nya tidak ada erti sedikit juga. Dari itu saya berbalik saya fikirkan. Malu
sendirinya saya sampai tak jadi saya mengadukan hal saya yang tadi tujuan saya
memohon keadilan;
‘begini yang telah terjadi pada diri saya,
pada hal saya tidak berbuat, begitu orang katakan saya, sampai korban isteri
saya dan sebagainya. Saya minta keadilan.’
Tetapi saya katakan tadi, ‘tambah dekat
kepada-Nya tadi, saya tambah tidak ada. Tidak ada.
Tidak ada.’
Jadi dapat kesimpulan, bahawa yang berat kata saya tadi, di
sisi-Nya tidak ada erti sedikit juga.
Dalam itu perjalanan saya berubah. Ertinya,
saya telah berada di sana. Saya harus kembali dengan bukti hendaknya, dengan
satu tanda hendaknya, bahawa saya telah di sana, telah berada di Hadirat-Nya,
untuk saya perlihatkan bukti kepada manusia zahir bahawa saya telah di sana,
telah kembali dari sana dengan tanda-tanda.
Akan saya perlihatkan kepada mereka-mereka,
orang-orang yang mendatangi saya. Saya perhatikan seluruh keadaan alam sekeliling.
Ertinya saya lihat dari segi Ilmu Tuhan banyak macam ragamnya, macam-macam.
Tetapi saya perhatikan satu-satu, maka saya
tertarik dengan ilmu-Nya, iaitu ilmu mengenai sir,
Sirullah; ‘rahsia-Nya Tuhan’ tadi. Jurusan itu yang
saya tertarik. Saya pelajari. Saya tengok dan saya lihat, yang secara pendek dengan
anak kunci yang ada di tangan saya. Saya datangi mereka-mereka, saya
perlihatkan kebesaran Tuhan Yang Maha Ghaib tadi.
Dengan tenaga ghaib saya masuki rumahnya,
saya buka pintu rumahnya tanpa disedari. Punya tangkal tak punya tangkal, punya
azimat tak punya azimat, punya isim tak punya isim dan dengan anak kunci yang
terahsia ini saya bisa masuki rumah itu, sampai terasa bahawanya saya telah
hilang atau masuk ke dalam, betul atau tidak?
Dan begitulah yang tertidur di dalam tadi
saya bangunkan,
“Bangun! Bangun! Bangun!”
Yang saya bangunkan, yang dia yang
sebenarnya; orang yang sebenarnya orang, bukan ini (badan). Ini rumah tempat
orang itu diam. Akan tetapi, satu tangkapan yang keliru bagi kita selama ini, yang
bahawa inilah (badan) yang orang sampai dia takut mati dan lain sebagainya.
Padanya tempat tinggal. Yang orang itu, itu
yang di bangun, bangun, bangun. Dia terus meronta. Itu dia!
Jadi itulah. Inilah yang kami berikan,
“Memasukan malam kepada siang dan siang kepada malam, mendatangkan yang hidup dari
yang mati dan yang mati dari yang hidup.”
Dengan ayat tersebut yang beberapa kali di
sini saya keluarkan;
‘Tooliju allayla fee alnnahari
watooliju alnnahara fee allayli watukhriju alhayya mina almayyiti watukhriju almayyita
mina alhayyi watarzuqu man tashao bighayri hisab.’
‘Memasukkan malam kepada siang
dan siang kepada malam, mendatangkan yang hidup dari yang mati dan yang mati
dari yang hidup, untuk itu rezeki yang tak terduga banyaknya akan
diberikan-Nya.’
Yang mana yang hidup pada kita? Dan yang
mana yang mati?
Jadi, begitu juga dengan pengetahuan kita
ini; kita dapat merasakan yang hidup itu yang di dalam. Melalui salurannya
jari-jari kita sudah keluar memancar. Jadi ini (jari-jari) benda mati. Ini
(tumpu pada rasa di hujung-hujung jari) kita keluar. Dengan itu saja, kita amal.
Sebagai amalan orang banyak, kita bacakan
ayat tadi terus kita bergerak. Bergerak. Kita telah memasuki itu malam kepada siang,
dan siang kepada malam. Itu kan kandungan rahsia Tuhan yang hidup dari yang mati, dan mati dari
yang hidup, dan rezeki yang tak terduga akan kita perdapat?
Dan begitulah bagi yang telah ada yang ada
sekarang ini, ertinya pancaran kami tadi, hasil galian kami tadi dan dari hasil
pengalaman kami tadi dan sebagainya, uji-menguji, banding-membanding.
Setelah dapat, kami berikan pula,
menurunkan ini ilmu pengetahuan dan kami senantiasa dengan rahsia-Nya tadi, dengan
ilmu yang terahsia tadi, mengembara; mengembara sebagai musafir untuk memberi seteguk air kepada mereka-mereka yang dalam
kehausan dan sudah tentu juga ertinya bagi mereka-mereka yang dikehendaki-Nya
pula dapat diajarkan ilmu kita ini.
Ada bahagian pada kami jumpa
kita, terus mendapatlah, akan diberikanlah dan lain sebagainya dan lain
sebagainya. Macam saya katakan tadi, kebanyakan ertinya berpendirian bahawa
yang luar inilah yang manusia. Di situlah letaknya kesalahan membawakannya,
mengamalkan pengetahuan ini.
Dia yang hidup itu, yang itu,
membawa tangan ini bergerak. Itu yang menjadi pegangan kita, iaitu di bidang
rohani.
* * *
Tadi saya katakan, apa nama tadi? Turunan? Diturunkan
kepada mereka-mereka yang telah mendapat ilmu kita ini.
Saya teringat akan satu kisah di zaman Nabi Daud. Dengan ringkas,
ertinya dua orang bersaudara mendapat harta pusaka dari orang tuanya.
Masing-masing mendapat satu ekor kambing. Dalam kata bayangan, atau sindiran di saat dianya atau dia akan meninggal,
maka orang tua tadi dipanggil anak kedua-duanya.
Katanya, “Saya sudah… dekat saja ajal saya. Ibumu telah meninggal
dan saya kemungkinan akan menyusul pula. Tapi tidak ada harta-benda yang saya
hendak tinggalkan padamu untuk bisa pakai, kecuali hanya saya punya dua ekor kambing.
Rencana saya masa pendek menyelesaikan jenazah saya, dan
bahagikanlah kambing itu masing-masing satu ekor seorang, dan cukup-mencukupilah.
Cukup-mencukupilah.”
Dan begitulah, pendek umurnya, bukan? Dibahagikan kambing seorang
satu ekor.
Masing-masing memikirkan, “Ke mana tujuan bapak ini? Cakap bapak
ini cukup-mencukupilah.”
Yang satu di antaranya fikir, “Kalau buat saya satu ekor kambing
ini memang tidak cukup. Aku mahu perbanyakkan.”
Yang satu berfikir terus, berfikir terus, “Apalah kambing
ini? Ke mana tujuan bapak ini, kata bapak ini?”
Sehingga sampai satu mengambil keputusan, “Saya harus mengembara,
mencari bagaimana kambing ini dapat menjadi banyak.”
Dan dari itulah dia pergi kepada saudaranya, “Bagaimanalah fikiranmu
tentang kambing ini yang cakap bapak?”
“Itulah yang saya fikir dan berfikir juga,”
“Jadi, apalah bagimu? rasamu, sudah cukup dengan satu
ekor?”
“Ini yang saya fikirkan cakapan bapak ini.”
“Wah! Bodoh engkau. Engkau dapat satu ekor sudah cukup! Saya
harus mengembara, bagaimana supaya kambing ini jadi banyak?”
Dan begitulah dia pergi, bukan? Dalam perjalanan pengembaraan
tadi, kambing seekor menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima, dan dari lima
menjadi sembilan, sembilan menjadi sebelas, dari sebelas menjadi segala macam.
Ingat kata bayangan, sampai menjadi sembilan puluh sembilan (99) sudah.
Dia hanya mencari seekor saja supaya cukup menjadi seratus.
Jadi kalau dia terus juga berjalan, kalau dua yang dapat akan menjadi seratus
satu. Dia masih jauh berjalan lagi, untuk mencukupkan sampai seribu.
Belakangan dia ingat, “Dari aku terus berjalan, lebih baik
aku kembali. Saudara aku yang punya satu ekor kambing aku minta supaya menjadi
cukup. Dan tak perlu aku jauh-jauh lagi merantau
atau
mengembara.”
Jadi begitulah. Dia pulang kembali dengan kambing Sembilan puluh
sembilan tadi. Dia pulang, terus dijumpai saudaranya tadi.
“Bagaimana? Kapan balik?”
“Semalam.”
“Bagaimana?”
“Alhamdulillah, dengan barkat doa
engkau, kambing yang satu sudah menjadi sembilan puluh sembilan. Engkau
bagaimana?”
“Masih satu ekor.”
“Sekarang beginilah, aku mencari satu ekor lagi untukmencukupkan,
sebab bapak bilang cukup-mencukupkanlah. Kalau saya berjalan terus juga,
mungkin saya lebih lama berjalan lagi. Saya ingat yang satu ini ada pada
engkau. Berikanlah kambingmu padaku supaya cukup.”
“Mana boleh? Engkau sudah punya banyak. Saya punya satu ekor
saja.
Bagi saya, yang sindiran perkataan bapak ini kambing cukup
tidak ada yang kurang; punyai telinga, mata, kaki empat dan sebagainya. Cuma
perubahan semenjak engkau merantau, bulu
yang kuning tadi sudah bercampur dengan putih dan segala macam.
Tetapi saya berfikir dia cukup. Ke mana tujuannya
perbincangan bapak tadi?”
Jadi bertengkar punya bertengkar, maka berpakatlah mereka
dua bersaudara tadi untuk menemui Nabi Daud, seorang ahli hukum di zamannya.
Mereka pergi mengadu hal ini dengan mengatakan,
“Bahawa kami ini dua bersaudara. Yang ini mempunyai Sembilan
puluh sembilan. Yang saya mempunyai seekor. Yang mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor memaksa, meminta kambing saya, sedang dia sudah punyai banyak dan
saya punyai satu saja. Jadi, sekarang ini kami minta hukuman yang adil.”
Bagaimana
hukuman yang adil?
Bagaimana
yang telah mempunyai sembilan puluh sembilan ini kehendaknya dapat supaya cukup
dengan tidak merugikan orang lain?
Ini
hukuman yang adil.
Yang satu ini minta bagaimana supaya dia dapat member kehendak mencukupkan orang, dengan tidak
merugikan ke dirinya sendiri. Faham?
Kalau sembilan puluh sembilan ini diambilnya satu, ini kan
akan merugikan orang lain? Kalau yang satu diberikan, dicukupkan orang, ini
akan merugikan ke dirinya sendiri.
Ini hukum keadilan; bagaimana supaya kehendak dari sembilan
puluh sembilan ini dapat dengan tidak merugikan orang lain? Dan kalau yang satu
ini yang punya kambing satu, supaya dapat dia mencukupkan kehendak orang lain dengan tidak merugikan ke dirinya
sendiri.
Pada masa itu kebetulan pula, semalamnya Nabi Daud dalam kata
kiasannya dalam Qur’an, begitu juga dia punyai bini sembilan puluh sembilan.
Dia paksa meminta isteri petani yang satu supaya cukup bininya seratus.
Sampai orang petani itu bertahan, “Tuanku telah punyai
sembilan puluh sembilan, sedangkan saya mempunyai satu. Kenapa masih dirampas
juga?”
Jadi kejadian itu dianggap oleh Nabi Daud seolah-olah peringatan
dari Tuhan kepadanya. Maka menangislah dia. (Surat 38, Ayat 22 – 24).
Akan tetapi, persoalan terletak bukan begitu saja.
Persoalannya bagi orang belakang supaya jadi pemikiran bagaimana rumusannya kalau
kita masuk golongan sembilan puluh sembilan; bagaimana supaya dapat cukup
seratus, sepenuh, bukan? Dengan tidak merugikan orang lain?
Kalau kita yang punyai satu ekor,bagaimana kita dapat
mencukupi kekurangan orang lain dengan tidak
merugikan ke diri sendiri? Ini haruslah kita fikirkan ke mana tujuannya, dan
bagaimana, apa kekurangan yang sebenarnya.
Kita umpamakan kepada orang yang banyak ilmu dankepandaian.
Dia berguru di sana. Dapat di sana pun masih kekurangan. Ada orang kepandaian
satu saja. Akan tetapi apa yang dibacanya tiap-tiap segala macam penyakit itu
saja dibacanya, tetapi baik.
Tetapi yang sembilan puluh sembilan tadi kalau sakit mata
ini bacanya, sakit perut ini, sakit gigi ini, apa sebab? Ertinya yang sembilan
puluh sembilan ini tak ada batangnya. Walaupun banyak ranting-rantingnya,
tetapi batang tempat dia hinggap tidak ada.
Tetapi yang satu ini batang, tetapi dia tak pandai; tak ada
ranting, tak ada cabang, hanya kepandaian buat dia saja. Ertinya dia tak pandai
menurunkan ilmunya tadi. Sama juga orangnya.
Orang ini banyak ilmunya tetapi masih rasa kurang, kerana
tak ada batangnya, pokoknya tidak ada. Begitu pula kita manusia ini, kita berasa
kekurangan, kekurangan, kekurangan dan bermacam-macamlah caranya mencari keluar
akan kekurangan tadi. Dapat, tetapi masih merasa kurang. Oleh kerana apa? Sebab
batang modalnya yang sebenarnya tadi belum diperdapat.
Jadi apa itu? Itulah yang ulama-ulama mencari yang satu untuk mencukupkan, katanya.
Kalau kita pengajian ketuhanan, kalau kita bilang yang Sembilan
puluh sembilan itu adalah sifat-Nya, tidak? Sifat sembilan puluh sembilan
dikajinya semua sekali, akan tetapi masih kurang.
“Aku mencari Dia. Dia itulah yang tidak berada di mana-mana
melainkan di diri sendiri.”
Jadi bagi kita seorang manusia, yang rasa
yang terasa yang telah kami berikan itu sampai terasa di hujung-hujung jari
itu, dengan itulah dicukupkan. Jadi yang sifat sembilan puluh sembilan tadi, dengan
zat kekurangan zat.
Tahukah kekurangan zat, kekurangan benih
yang benar yang sebenar-benarnya? Dengan itu kita cukupkan kekurangan kita. Jadi dengan
pengetahuan kita ini, kita gerakkan dia terasa, sampai terasa betul-betul baru
dia sendiri yang berbuat. Insya-Allah. Kalau ditembak, kalau diapakan segala macam, sudah cukup. Apa
lagi, tidak?
Maka itu saya katakan, jangan goyang.
Yakini. Pegang betul.
Akan tetapi, apa sebabnya sering kita gagal
dalam hidup?
Apa sebabnya
walaupun sudah punyai ilmu pengetahuan ini, kita masih kena segala macam? Oleh kerana kita lupa
kepadanya. Kita bawa juga ke alam pemikiran kita. Ibarat musuh kita anggap
jauh, jauh, padahal dia dekat. Atau dia dekat, kita anggap jauh.
Berpeganglah kepadanya. Dengan dia itu,
ingatlah. Dia terus dikontrol semuanya. Itu kata orang tua-tua, ‘percayalah
kepada diri sendiri,’ bukan kepada badan diri.
Bukan kepada kesanggupan pemikiran kita.
Ini benda juga baru. Yang menyebabkan fikiran itu boleh berjalan, boleh
berfikir, itulah dia.
Ingatlah kepada rasa. Itulah yang penting.
Dengan itu dicukupkan. Penuh, cukupkan. Ingat kalau kita terbelahak, maka keluarlah
yang tak baik, tidak? Yang itu.
“Sebab aku mahu masuk,” katanya,
“Aku yang sebenar orang,” katanya.
Saya berikan yang itu, itu juga,
pengetahuan itu juga. Saya panggil satu-satu, saya gerakkan. Saya kontrol dan
saya bersihkan kembali segala yang tidak baik, yang kotor dan sebagainya. Saya
isi dengan yang baru.
Akan tetapi sangat sayang, si manusia yang menerima
tadi juga yang menyelewengkan ilmu pengetahuan ini atau menyebabkan ilmu
pengetahuan ini mundur dengan
sendirinya.
“Engkau lebih pintar dari Aku. Bawakanlah cara
pemikiran engkau itu. Sesudah sakit pinggang, nanti sakit perut pula serahkanlah
kepadaku.”
Dia telah ada pada kita; Gerak Allah
semata-mata. MenjadiGerak Allah semata-mata, bukan gerak kita. Dengan adanya
zat serba zat tadi, dengan itu makanya cukupkan.
Satu lagi ertinya, dalam bawaan pengetahuan
ini, tak usah terlampau kita memikirkan keadaan diri kita sendiri. Ingat saja kepadanya
dan turut. Dengan sendirinya pula ada yang memikirkan kita. Kalau kita biasa dengan pengetahuan
ini, itulah yang kitadalam pembawaan kita.
Walaupun sedang tidur kita, datang maling (pencuri),
dikirimkan orang tuju-tuju, dia bangun sendiri. Sebab dia itu yang automatik
bawaannya. Dia tidak pernah tidur. Dia tidak pernah mati. Dia hidup selalu.
Hidup. Hidup. Hidup. Hidup. Jadi, itulah yang akan menjadi pegangan kita.
Itulah hendaknya:
Siang akan dipertongkat
Malam dipekalang hulu;
Yang hidup akan dipakai
Yang mati akan ditumpang
Dan padanyalah segala macam rahsia,
selok-belok rahsia.
Dengan dia juga kita akan dapat memecahkan
rahsia diri sendiri.
Dan dengannya pula yang akan dapat
memecahkan rahsia orang juga.
Dan habis itu, berfikir-fikir pula
bagaimana pembawaan kita keluar terhadap masyarakat, terhadap kawan-kawan dan
lain sebagainya?
Ertinya, ya, kalau berpegang betul-betul
kepada itu saja, ini pun tak boleh. Ertinya, ada masa siang, ada masa malam. Siang
selalu hari tak betul. Malam pun selalu juga dibawakan, tak betul.
Ertinya, perjalanan malaikat dan perjalanan
manusia berlain. Masa malam tidur. Siang kita bekerja. Jangan siang saja. Malam
hari, masih siang juga.
Bawaan dia selalu kita ingatkan. Kalau dia
itu tak usah makan katanya, tak perlu tidur, tak perlu mandi dan tak perlu
apa-apa pun, orang di dalam tadi. Tetapi yang di luar ini, dia berkehendak kepada makan, minum, berkehendak kepada
segala-galanya, bergaul masyarakat dan sebagainya.
Jadi antara ‘ada’ dan ‘tidak ada’ kita
satukan dengan rahsia yang ada pada tangan kita, tapi buat kita sendiri bukan untuk orang lain. Jadi
orang lain memandang ketinggian kita segala macam.
“Oh, begitu dan begini dunia
sekarang? Bagaimana saya akan mengatakannya, sebab dalam ilmu ini ada masanya
yang boleh diterangkan untuk bersama-sama, ada yang dalam bilik kecil, ada yang
empat mata saja? Sebab ini dunia… dunia… dan dunia.”
“Kalau kita betul-betul membawa
secara kejujuran saja, tak akan bertukar pakaian.”
Sedangkan Tuhan memberi contoh kiri dan
kanan. Kenapa ada kiri dan ada kanan? Kenapa tidak kanan saja? Jadi, kanan saja
dia tidak betul. Pincang. Hidup kiri pun selalu tidak betul. Tetapi pergunakanlah.
Walaupun kiri pada jalannya, kanan pun pada
jalannya. Lain dari itu rahsia dalam hidup dan kehidupan. Dunia ini diciptakan
Tuhan memang untuk kita manusia. Memang untuk kita, tetapi ada
sangsi-sangsinya.
Begitu halal haram, boleh tak boleh dan
segala macam. Tetapi kalau pada jalan-Nya kita peroleh dia dengan rahsia yang
telah ada pada kita dan terahsia pula bagi kita sendiri. Macam saya katakan
juga pada setengah orang, bukan?
Malinglah (mencurilah), tetapi tak ada yang
kehilangan, siapa boleh hukum kita? Orang tidak report barang
saya hilang. Tidak ada.
Tetapi itu pandai sendiri secara rahsia.
Saya tak suruh maling, tapi pandai dengan rahsia-Nya. Selagi dunia macam
sekarang ini, keburukan-keburukan akhlak dan segala macam dan segala macam. Jadi
hidup tadi banyak sangsi.
Ertinya malam dan siang, siang dan malam,
hidup dan mati, mati dan hidup, rahsia peribadi kita sendiri. Bergerak-gerak
dekat kami itu apa? Itu hanya latihan saja, tetapi dalam praktik sedikit saja
jadi. Dia yang cakap. Dia yang berbicaradan dia yang berbuat, sampai
betul-betul terasalah dia, tak akan jadi perhatian kepada orang ramai. Tak usah
takut, sebab bukan kita yang berbuat. Dia tidak?
Begitulah segala macam-macam, berbelok-belok,
berbelit-belit akan rahsia-Nya. Jadi, kalau dalam latihan macam biasa
dibawakan, ertinya latihan sedar dikata.
Jangan sampai lupa macam orang kemasukan
segala macam. Latihan diringankan gerak tangan, gerak kaki dan sebagainya. Kontrol
diri tadi. Ambil gerak badan, exercise
segala macam sampai sihat badan diri kita
dan berjalanlah, kerjalah macam biasa.
Jangan bawaan kita macam orang kehilangan
akal, walaupun kita katakan ilmu kita ini dalam dan tinggi, tetapi kita bawakan
dalam keadaan begini saja.
Macam orang luar pandang, “Sayang si anu. Semenjak
menuntut ilmu… salah ilmu itu!”
Dia berbincang sesudah itu. Di situ
kesalahan. Ini kita biasa, tetapi dengannya dia telah ada pada kita. Ini dia tadi
tak semacam sekarang ini. Kita biasa.
Datang orang, “Assalamu alaikum!”
“Waalaikummu salam.”
“Tolong aku.”
“Ada apa?”
“Oh, kepala aku sakit. Gigi aku sakit.”
Kita kontrol diri kita, ‘Apa aku nak buat?’
Dia bangkit bergerak.
Dia automatik sendiri.
“Sudah baik ke belum?”
“Sudah,” katanya.
Ya habis.
Adakalanya yang gigi sakit, digosoknya
giginya sendiri kiri kanan.
“Bagaimana?”
“Ya,” katanya, “baik.”
Ada juga melalui telefon. Itu keizinan
Tuhan semuanya. Orang di Surabaya telefon ke Jakarta.
“Bapak.”
“Apa?”
“Tolong anu… kepalanya sakit bisa.”
“Boleh tahan? Tunggu sekejap… Bagaimana itu
sekarang?”
“Ada kurang sekarang.”
“Bagaimana?”
“Tak ada lagi.”
“Syukurlah.”
Ini tidak kita fikirkan bagaimana hendak
mengubatinya. Kehendak kita, ingatan fikiran kita supaya mendatangi dia di Surabaya
itu, tidak? Apa akan terjadi? Jadi kalau saya katakan tadi, fikiran kita juga kita kemukakan, walaupun
ilmu pengetahuan ini, pengetahuan ini seolah-olah merajuk, “Ah, engkau kalau
pandai bawalah!”
Dia mundur, pengetahuan kita ini. Di situ
harus kita tahukebolehannya untuk keseluruhannya. Dan janganlah ragu-ragu mencari
pengalaman. Dan janganlah segan-segan kita anak muda dipanggil orang itu bomoh. Itu masa bodoh
orang kata kita bomoh. Orang kata kita ini, siapa kita sebenarnya? Kita yang
tahu, dan Tuhan.
Kalau orang minta tolong, tolong. Cuma, ya,
bagaimana? Jangan marah pada Tuhan, nanti datang mimpi, datang apa, ditolak,
ditolak juga.
“Aku tak pandai, tapi aku cuba juga.”
Itu macam biasa. Kalau orang timur, orang
melayu, kalau pandai jampi-jampi atau ubat sedikit, walaupun ilmu sudah dalam
apa-apa, orang kata apa syukurlah. Bomohlah. Ya, katakanlah, tak usah marah.
“Oh, Kamaruddin bomoh,” katanya.
Tak apa. Tak usah marah. Sudah dapat pangkat
kita, tidak? Juga tidak menjadi soal; sudah menjadi orang, kita. Orang lebih mengenal
kita, lebih mendalam. Oh, jangan takut di-try, dicubanya kita. Jangan.
Kalau tidak begitu, tak akan kita kata
bahawa benda kita tadi kuat macam… ya… ertinya saya anjurkan belajarlah karate.
Belajarlah pencak silat. Pelajarilah, tetapi bawahlah barang kita. Sedangkan
orang mengajar itu akan salam dengan kita,
“Engkau mesti bukan diajar, bukan belajar,
bahkan mengajar hendaknya
.” Sebab kita, bagi kita, satu diajar empat
dapat dan lebih cepat dari orang itu lagi tangan kita.
“Kalau perlu, pukullah!” katanya.
Mungkin lagi cepat. Dia yang pukul,
tangannya yang patah, yang bengkak. Itu tidak diapa-apa. Tidak disengaja, tidak
diapa semuanya. Itu akan terjadi juga kiranya, sekali, bila praktik apa-apa nanti.
Kalau mengubat seorang wanita kebetulan
kemasukan yang mahu menerajang kita segala macam, hendak kita balas? Bagaimana
pandang zahir orang? Suruh pilih saja. Dia automatik
saja.
“Pilihlah yang mana suka!”
Pang! Pang! Dia jatuh. Tetapi buat fikiran sudah lain, iaitu
cari pengalaman. Pengalaman yang kita cari. Kebolehan
tadi, kalau tidak begitu saya tak akan berani saya katakan ilmu kita ini paling
dalam, paling tinggi dan paling benar.
Tetapi, jangan takbur.
Ucapannya, jampinya, apa-apa
tidak ada. Hanya Dua Kalimah Syahadah.
Diberanikan, tetapi jangan
sombong. Jangan takbur.
Jangan bongkak dibawakan. Itu
yang tak boleh. Sampai lupa dirikata orang, itu yang tidak boleh.
* * *
Ilmu kita ini ilmu padi; tambah
berisi tunduk menjadi hendaknya. Tetapi tidak sampai di situ saja.
Itu padi kalau mahu nasi, kita
tumbuk dahulu. Jangan tinggal padi. Tumbuk padi. Padi, yang diibarat yang satu
tadi, mana hendak kenyang, ya tidak?
Kalau tidak dimasak, tidak
ditumbuk jadi beras, baru dimasak? Lagi, bukan? Mahu bikin kuih, bukan? Dijadi
tepung. Tambah gula, tambah susu, tambah kelapa dan itu baru sedap rasanya.
Kalau itu padi, padi, padi saja
macam ini, akan padi saja. Tidak akan jadi.
Kalau kita buka… buat apa padi
banyak tak termakan? Laparnya, tidak? Kan banyak itu! Berduit. Berduit.
Berduit, tetapi disimpan… disimpan saja nanti tak akan bertambah, tidak?
Tetapi kalau kita putarkan… di
sini kita bukakan… dia jadikan ini, itu dan serahkankepada Tuhan. Beli saham
ini dia menjadi semuanya. Tetapi, “Wah, kalau si anu hendak menipu saya!”
Kita waswas, ragu-ragu itu.
Walhal kalau Tuhan berkehendak mengambil, sekejap saja.
Sedangkan nyawa diambil, tidak?
Kalau dia berkehendak? Jadi, itu! Lepaskan dengan ikhlas.
Mudah-mudahan dia menjadi, sebab ilmu kita
ilmu padi.
Padi bernama padi cinta kaya,
siapa mencintainya akan jadi kaya.
Ini harus yakin, positif kita
dalam hal ini. Tetapi kita ragu-ragu, lebih baik kita
simpan saja. Nanti dia kelentong-kelentong, dia menjadi begitu. Itu hanya
fikiran tadi tidak mempercayai, jadi
orang tak percaya pula pada kita, tidak?
“Habis. Habislah!” katanya.
Nanti mulai lagi atau dalam mengubat, kita
kalau kita jadi bomoh nanti, ada di sini.
“Terima kasih Pak.”
Ada yang okey.
“Wah! Penyakit itu berat. Terima kasih
saja.”
Tidak usah dikira, nanti habis. Nanti ada
yang lain saja nanti, lebih dari yang kita harapkan.
“Wah! Tentu tiga Ringgit, empat Ringgit,
dapat juga beli rokok ini, ya tidak?”
Tahu-tahu sudah kita hendak balik pula. Kita datang ke
rumahnya. Ongkos (belanja) kereta tidak dibayar. Kobar (semarak rasa marah)
Rahman (Haji Abdul Rahman Ibrahim). Dongkol (marah dalam hati) itu tidak?
“Alhamdulillah.”
Kan tenang saja. Nanti ada saja orang
menghantarkan ke rumah. Dia pergi lagi, pop sepuluh ditinggalkan tanpa kita duga-duga
lebih dahulu. Ini perjalanan kita. Jadi, barang yang disengaja, barang yang tak
diduga-duga itu adalah lain.
Buah tadi yang jatuh sendiri dengan sengaja
dipetik, walaupun muda dia takut diambil orang iaitu lain. Tetapi kalau dia cukup matang,
masak jatuh sendiri, ini rezekimu baru.
Dikupas bukan main manis. Sedap manis
rasanya.
Dan apa pula pelajaran tentang buah ini?
Barangkali kita manusia tidak dapat membawakannya. Itu buah rambutan, buah
mangga, tidak? Orang lempar dia dengan batu, tidak? Tapi dibalas dengan buahnya.
“Ini!” katanya, “Ambillah samamu.”
Biasa manusia membawa macam itu, disakiti
dia, tidak? Mesti ditempelengnya kita, tidak? Ini tidak.
“Ambillah buah aku ini. Makanlah ya.”
Itu falsafah hidup dalam pengetahuan kita ini, dan Ilmu
Tuhan yang kita jalani, sebab ilmu kita ilmu berisi. Dalam ayat;
‘Sirata allatheena anAAamta
AAalayhim ghayri almaghdoobi AAalayhim wala alddalleen;
Jalan yang Engkau tunjuk, dan
berisi, dan isi yang nikmat, dan yang tidak dimurkai, dan tidak pula sesat.
Dan jalanlah pada jalan-Nya dan rezeki kita
letaknya di sini, di sini, di sini. Lebih baik dengan kudrat dan iradat-Nya,
daripada kita tentukan.
Tempoh-tempoh, kan? “Berapa anunya? Fidiyah-nya?
Syaratnya?”
Tiga puluh Ringgit, lima puluh Ringgit
orang bayar juga. Mengapa tidak? Tapi lebih baik terserah. Ada rezeki kami tinggalkan,
tidak ada sudah. Berapanya dengan ikhlas terserahlah dengan kehendak Yang Maha
Menentukan tadi.
Tempoh-tempoh, “Terima kasih,” katanya.
Ya,
manusia tetap manusia. Tempoh-tempoh anu juga bukan, tidak? Tapi itulah
sebaik-baiknya, terserah.
“Tak ada rezeki aku darimu.”
Dan yang lain datang juga. Dengan
penyerahan segala-galanya kepada-Nya, jalan pada jalan-Nya dan Dia akan memberi segala sesuatu
kepada kita. Jadi itulah makanya saya terangkan, ingin menerangkan, menerangkan,
menerangkan lagi. Selain dari itu, kita mencari pengalaman sendiri.
“Dalam pengetahuan ini tenaga ghaib,” katanya, “kita tunggukan
dia.”
Kita bangunkan dia dengan Dua Kalimah
Syahadah. Dia bangun. Cubalah.
“Encik Ibrahim lambat pulang,” kata
bininya. “Cuba jemput dia.”
Dia berjalan sendiri.
“Eh, baliklah!”
Nanti di sana terbayang Encik Ibrahim
(anggota Pasukan Tentera Darat) itu ada apa di rumah.
“Biarlah aku pulang,” umpamanya.
Ada pula, macam Rahman (Saudara Rahman, Tester
di JPJ) Dia pergi ke Klang. Apa-apa dia jalan di sana. Macam mana?
“Jangan bisa (sampai) kelihatan orang
rumah!” Terutama.
“Siapa itu? Wah!”
Habis. Senyaplah, ditutup dinding.
Ketawa dia!
Ini teori-teori semua sekali.
“Ya. Tutup! Jangan ketahuan rahsia
aku,” katanya.
Habis cerita!
Walaupun dalam pekerjaan. Boss kita,
dia percaya saja. Itu tutup semuanya. Habislah, umpamanya ini. Ini kita cari,
kita amalkan dan sebagainya. Kita praktikkan juga jalan malam.
“Di sana,” katanya, “ada penunggu, ada
hantu.”
Kita pergi, tapi jangan lupa dia. Tegak
berdiri bulu roma kemukakan dia, nanti dia jalan sendiri. Ke mana dia lari diikutkannya
itu. Tetapi kalau kita bawa ke fikiran zahir kita, nanti kita takut. Tambah
kencang lari kita, tambah dekat dia pada kita. Lebih baik kita berhenti. Baca
Dua Kalimah Syahadah. Kita bangunkan semuanya.
“Jangan cuba-cuba aku!”
Beranikan diri. Itu saya ingin tahu. Kalau
betul-betul juga, ikutnya.
Kalau lari sampai betapa kencang. Tambah
dekat dia kepada kita, tidak?
Mudah-mudahan dapat difahami dan dapat
dimengerti dan ialah bagaimana kebolehan-kebolehan pengetahuan tadi. Sampai
menjadi ada, dan kita ini… perjalanan kita juga, dari ada ini menuju kepada tiada
ada melalui yang tiada. Dari tiada ada terus keluar sampai menjadi ada.
Tetapi perkembangan proses perjalanan ini
untuk menjadikan berbentuk dan berupa, sampai menjadi ada. Dari itu, bahan-bahan
terdapat sendiri di jalan tadi.
“Kalau lama bergerak, bergerak,
bergerak, berjalan,” katanya.
“itu jalan, yang itulah
makhluk-makhluk suci dan segala macam kita perdapat dalam perjalanan, dia ikut
kita dengan petunjuk Tuhan.
Bukan kita macam orang keturunan (menurun),
diseru, dibakar kemian, diseru, kasi makan, persiapan ini itu, maka datanglah
dia.
Bila dia datang rumah bergoncang, cicak berbunyi,
bukan? Itu yang kasar, yang jahat; ilmu hitam. Tetapi bagi kita, bila dia
datang itu tertentu. Bukan kita minta dia datang. Bukan kita yang menyerunya, bahkan dengan petunjuk Tuhan.
Dan kita sendiri tempoh-tempoh tak dapat melihat dan mengenalnya.
Tetapi orang luar, di luar badan diri kita, apalagi orang
yang berilmu, melihat.
“Wah! Bapak seperti pakai jubah itu
nampaknya. Pakai serban itu dengan ilmunya.”
Pernah salah seorang anak buah saya dahulu,
dia pergi sama orang cina, dahulu di kiai di Jawa Barat sana. Dia sendiri tidak
tahu, tidak kenal, sampai kiai itu sendiri di waktu itu mahu berpisah, begitu
dia minta bersalam, diciumnya tangan. Si punya badan tak tahu; seorang ulama, kiai besar, kenapa
sampai pegang tangan terus dicium?
Dia tengok bukan yang zahir, yang batin
tadi, yang mendampingnya tadi. Sedangkan si punya badan sendiri tidak tahu. Dia cuma bergerak-bergerak begitu saja. Tetapi
kenyataan begitulah.
Jadi bila terjadi berkarate
atau clash, bukan kita. Dia!
Tetapi melalui badan diri kita.
Ya, jangan ragu-ragu. Dan
carilah pengalaman-pengalaman. Walaupun lebih, dapat kita mengetahui dan lebih
dapat kita memecahkan akan rahsia yang akan menjadi rahsia dari Yang Maha Rahsia tadi.
* * *
Kita bergerak di bidang Sirullah; di bidang rahsia-Nya dan menjadi rahsia kita pula,
hingga dapat kita mengatakan “al Insani Sirril Wasin Insanni.” Sehingga rahsia-Nya telah menjadi rahsiaku.
Tinggal orang lain pula yang
akan memecahkan rahsia-Nya, kalau dia boleh. Jadi bagi kita, gerak-geri kita
ini terahsia untuk kita pula. Orang tanya, jangan kasi tahu. Itu rahsia kita.
Cuma dia hairan.
“Kenapa aku tumbuk,” katanya,
“dia tidak balas. Tapi tangan aku yang sakit?” katanya. “Dia pakai apa?”
Kalau dia tanya apa.
“Periksalah! Kalau ada azimat atau apa-apa sama saya. Tengoklah, kalau ada
apa-apa sama saya, tengoklah kalau ada apa-apa.”
Pada dia, kekuasaan dari Yang
Maha Kuasa tadi, Yang Maha Ghaib dari Tenaga-Tenaga Ghaib-Nya. Jadi jangan
ragu-ragu.
* * *
Kalau disangkut-paut kepada
agama, itu lebih baik. Berdasarkan kepada Dua Kalimah Syahadah, berbuatlah,
berjalanlah, ke Mekahlah, mencarilah, berusahalah, kerana dunia ini diciptaka n
Tuhan untuk kita, tapi pada jalan-Nya.
Mengontrol diri kita. Jangan kontrol keluar. Jangan
kontrol diri orang saja. Ke diri sendiri. Kontrol. Kontrol. Kontrol. Kontrol ke
dalam, hingganya apa saja segala yang tidak baik, tak mahu singgah pada badan
diri kita.
Kecuali kalau dia sejenis dari
yang ghaib sama yang ghaib. Sejenis dari yang putih sama yang putih, yang
bersih sama yang bersih bisa masuk, memasuki itu rumah kita dan yang kotor biar
keluar.
* * *
Dan ya, bermacam-macam yang
telah saya alami. Orang sengaja mengisi minuman buat saya. Begitu
diletakkannya, begitu tangan saya ini menyambar dan minum. Begitu sama orang
itu.
“Ada lagi atau tidak?”
Dia gementar. Dia pucat. Tetapi
saya tidak tahu. Bermulanya begini automatik saja. Dan begitu diletakkannya dan
begitu tangan menyambar terus minum, terus ditanya. Mulut ini sebagai siapa
yang cakap? “Ada lagi atau tidak?”
Di luar dari dugaan kita, apa
yang terjadi? Ada juga kita yang minum,
tetapi yang memberi tadi yang terlentang.
Bukan kita hakikat dan niat
tahu juga namanya. Tidak. Iaitu kita bergerak saja, walaupun hati pada saat itu
ikut saja. Dia kasi minum, minum. Terus dia bergerak.
Nanti terpekik. Nanti sampai
padanya melalui badan diri kita. Kita yang minum.
Kalau kita ucap ‘Ah! Aku tak akan
telap, ini itu,’ memang badan yang dimakannya. Itu takbur
namanya.
Ditengok macam ini. Di luar
dari dugaan kita, di luar dari kemahuan kita, segala-gala sesuatu terjadi. Ini
pengalaman-pengalaman yang saya katakan tadi.
Juga bila kita mahu naik
kereta, naik kapal laut atau apa-apa. Tetapi jalan kita ini jangan ditinggalkan
dan jangan lupakan, kerana ‘itu hidup yang
dipakai; mati yang akan ditumpang.’
Walaupun kita di atas kapal terbang, ingat
saja kita telah bersertanya. Maaf kalau terjadi apa-apa, mungkin pada orang lain.
Kita selamat atau bagaimana malaikat yang akan melindungi kita.
Atau
dalam bas kita ingat. Nak bawa kereta juga kita ingat; adakah, tidak? Jadi
bersertanya, dengannya, dan dialah yang hendaknya selama mungkin kita. Jangan
fikiran kita ke mana-mana.
Kiranya dapat difahami hendaknya,
hingganya. Ertinya dapat mengamalkan pengetahuan kami ini menerima aliran dari
kami hendaknya. Ya, berjaya hidup tadi hendaknya. Bertambah kemajuan di bidang
kehidupan nanti segala segi.
Walaupun dalam tingkatan sekolah umpamanya,
ada di antara kita sebagai seorang pekerja ketinggalan dari yang lain, tetapi
dengan ilmu pengetahuan ini bisa mengejar ketinggalan kita tadi. Ada saja oleh
Tuhan untuk meningkatkan peningkatan kita.
Oleh itu makanya jangan terlampau
difikirkan. Ingat saja, dia bergerak dan berbuat. Untuk kenaikan pangkat minta
tinggi, tinggi… tinggi, tinggi, tinggi. Tangannya bergerak lagi, bertambah tinggi
kedudukan kita dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Dan sewaktu kami bergerak, diperhatikan.
Ertinya bergerak kami pertunjukkan. Ertinya secara engkau sendiri bergerak
umpamanya. Walaupun ilmu pengetahuan dari kami, kami menghidupkan di dalam,
tetapi diperhatikan saya sebagai guru kalian.
Itu
dengan saya bergerak, kalau dapat macam itu hendaknya gerak Aku yang dibawakan,
jangan gerak engkau! Cubalah gerak Aku dibawakan, jangan gerak engkau.
“Kan kubiarkan saja gerak engkau
berkembang sendiri. Walaupun bisa begini begitu, tapi ‘Aku,’ saya… dalam hal
ini, bagaimana cara bergerak?”
Ini diperhatikan. Macam itu.
Ditanya, “Cara gerak Bapak, macam mana?”
Dia akan bangun sendiri. Ini
saya ajarkan untuk menurut, menggerak orang itu. Kalau gerak sendiri hidup
juga, tetapi dengan gerak yang baru kami bangunkan dari dalam, ya tidak?
Si Nancy, adik si anu itu,
“Bagaimana ini Bapak? Dia seolah-olah kemasukan, apa-apa?”
“Ya, turutkan dia.”
Kebelakangan, “Cuba gerak Bapak
diikut.”
Lepas itu se… begini saja.
* * *
Tetapi yang penting isi tadi,
zat tadi. Dengan yang itu kita cukupkan sifat yang sembilan puluh sembilan.
Itulah dia modal besar yang hidup.
……. Itulah dia batang. Itulah
dia pokok. Itulah dia pohon tadi, yang kita satu dengan yang sembilan puluh Sembilan
tadi. Yang itu ialah batangnya.
……. Tetapi dia tidak pandai mencabangkan
sampai menghasilkan buah atau menurunkan yang sembilan puluh sembilan itu
buah-buah segala macam buah. Itu ranting-ranting, tapi tak dari batangnya.
Tak ada batang untuk dia kuat
berdiri. Dengan kita ini, dari batang dahulu, terus beranting,
bercabang dua dan cabang
beranting beranak… beranak… beranak… beranak…
Selesai Januari, 1991
Taman Sri Nibung, Pulau Pinang
.
No comments:
Post a Comment